Di dalam relung-relung mimpiku yang paling purba kamu hadir. Mimpi yang muncul mengiris malam dengan keji yang manis. Dan kekosongan alam terkuak oleh kemurnianmu, yang mengisinya penuh. Tidakkah aku bintang pada sebidang langit yang bersih.
Padepokan-padepokan itu saksinya. Kalau kelak, entah kapan, orang-orang akan sadar dan bertanya. Saat ini mereka limbung dan kata-kata mereka tidak berarti lebih daripada sebuah khilaf. Pendopo, dan serambi, bakal bicara. Singkap semua.
Setiap kubik ruangan mengandung keagungan, kekuatan, kesucian. Tiupan ketuntasan bagi hati yang sejati. Kutemukan kamu ada padanya. Sahaya bercahaya. Setelahnya namamu selalu dalam dzikirku. Tak putus saling menyapa raga serta jiwa. Menyelami ganjaran kemustahilan yang semakin terasa berkah. Kita. Kamu kentara, aku alpa.
Sebab kamu adalah dirimu, entitas yang terbentuk melalui setubuh keikutsertaanku. Seperti suatu komposisi garapan, layaknya suatu sistem terintervensi. Aku berbagi denganmu pada tumpu ajaran pasrah yang turah dan benih yang kasih.
Pun kita punya obsesi yang sama tentang terpenjara di balik tembok pagar berjeruji. Jeruji yang justru memelihara kita tak tersentuh, dari tata fana, bebaskan kita nuju pencarian pulang bumi. Menuliskan jilid kedua humanitas, buat mengganti seri yang lama yang musnah telah.
(perjalanan Jakarta-Indramayu, 2010)