Seperti dua kamar berseberangan. Bila terus menabrak dinding pembatas, menjumpai dunia baru di seberang.
Mungkinkah hal-hal dalam hidup demikian juga adanya. Menyimpan kebalikannya pada tingkap tertentu. Suatu waktu tingkap itu bobol oleh kejenuhan sifat yang menerus mendesak, melampaui klimaks.
Tatkala manusia membongkar antitesis (A’) dari tesis (A), muncul cerminan berlawanan, that emerges a paradox. Yet this paradox is toxicant.
Such paradox-toxic is an oddity that you’ve been realizing. So rare, so often. You say so sudden, when you denying the fact: you did wait it for long…
Seorang Prasetya Erik berani melata di atas banalitas hingga (inevitably?) menemukan estetika, jadi ya, sampai di titik tertentu, di mana kita sudah ditidakmampukan untuk mengerti, kita mengerti.
Di poin kemanusiaan yang mana tadinya dinafikan, manusia beroleh kekuatan. Ketika mimpi terlebur oleh realita, meleburlah mimpi dan realita. Menjadi angan swadaya.
Stop decontaminating. Because you end up helplessly contaminated.
Play it loud as fuck and dance to it.
Asap pada kepul debu, peluk basa, asal kedu, pasak dua,
tertatih lembut angin.
Kekosongan yang menyakiti, ketiadaan yang melingkupi, tetapi waktu manusia tidak balik menekan, menyadari he himself has already lost all every things that he doesn’t have no more thing to lose, he can fight to the last blood.
Maria bersama Ralf Hart:
”Dalam kepasrahan itu, kami akhirnya dihampiri kebebasan.”
And this is written, I think, is for sake of very utmost paradox-toxic we find love in hopeless place.
Just leave the ((live every day of your life)) chant,
so begin ((screw my life. i’ll just live.))
PS. Me know that is the paradox of your and most people’s thought.