Blog ini cuma sebuah laku bacalah, bukan bacakanlah.

Sebab bisikan selalu jatuh lembut di telinga, tak seperti teriak yang menghantam pekak.
Tidak seperti gema yang menggelantah dengan dobrakan gelora, melainkan lebih ingin gaungnya pribadi dan dadi abadi.
Untuk disimpan di dalam batin, bagai bersemedi di dalam nadi.

Makna bersembunyi pada selumbar-selumbar semantik, pada pendar-pendar punktuasi. Walaupun ia akan dijumpai bilamana dicari.

March 6, 2008

made up

Evita - Adolf (sonata dua hati) :
Praha, 22 November 2007


E : Kamu tidak banyak berubah, Adolf. Empat tahun bukan periode singkat, aku tadinya khawatir tidak bisa langsung mengenalimu. Tapi kamu mengurus.
A : (starring)
E : Masih tidak suka basa-basi? Benar-benar tidak berubah.
A : Dalam memegang satu prinsip, aku tidak temporer. Kamu yang tidak sadar apa yang kamu lakukan.
E : Love drives you fool, bukan?
A : Evita, you get what exactly I mean.
E : Benar. Aku hanya tidak mau mengakuinya. Sejak dulu, bila ada yang menyentuhku, siapapun apapun, ketika aku tersakiti, aku menjauh selekasnya. Aku independen, kuanggap itu hal-hal remeh. Dan aku tidak mau menyita waktu berharga untuk memikirkan yang tidak penting berlama-lama. Kumenangkan setiap kompetisi dengan mudah semudah kujalani kehidupanku. Wajar aku tak mau melepas arogansi untuk mengakui kegagalan dalam menjaga otentik karakterku itu.
A : Aku terlalu kejam padamu, Ev?
E : Real bad. But don’t take it; I guess I’ve been invulnerable.
A : Kamu menuntut.
E : Apa guna menuntut bila tetap tidak mendapatkan?
A : Sebenarnya kecewa hadir bila kita berspekulasi terlalu keras, berekspektasi terlalu besar. Jadi jangan mencari kambing hitam.
E : Dan jangan kamu bicara satir. Aku bukannya tidak berusaha! I strove against the gloom, Adolf! I took a vacation, I tried to have a new starting. And all in vain.
A : There are words that are better unheard, better unsaid.
E : Sungguh kuharap tidak, Ad. Praha terlalu indah untuk jadi finale song.
A : Kamu telah bertutur seolah-olah kamulah korban di sini. No, you’re not, Ev, at least not the only one. I mean, God’s sake, I didn’t even set any priorities in my life; all I want just... sober. Until you show up and mess everything at a glance.
E : Apa? Apa katamu?? (murmur) Unmöglich.
A : I owe you not only a big explanation but also an apology, Evita.
E : Itu kata-kataku dalam surat yang terakhir. Thought you had trashed it.
A : Sebaliknya, aku membaca semuanya. Every phrase every word. Setiap waktu-waktu yang terluang dan diluangkan. Maka kata-katamu melekat di ingatanku tanpa banyak ricuh. AKU TIDAK PUNYA KEBERANIAN MEMBERI BALASAN, KARENA TAKUT MENGULANG RINDU YANG MENEBAL. ATAU MEMUPUK HARAPAN YANG PUPUS DARI DASAR. ATAU SEMAKIN TERKUKUNG. Dan aku berjuang teramat keras, percayalah. Walaupun tetap kubohongi diri. Biarpun tetap tak dapat kupungkiri.
E : Aku dan kamu sama tahu cinta kita ini buai yang tak dapat disemai. Tetapi mengapa tanpa tanda tiba-tiba……?
A : Untuk kebaikan kita bersama! Domine, Evita! Aku tidak mau melibatkan kamu dalam hidupku yang rumit. Kustom yang menyekat kita terlampau tegas. Ruang gerak terbatas.
E : Tak pernah terlintas di pikiranku kata-kata macam itu akan keluar dari kamu. Pathetic. Kamu orang yang anti ikut arus, mimpi-mimpi serta idealismemu setua denyut jantungmu. Dalam hal kebebasan, mutlak kamu terbaik yang pernah kutemui. Sejak kapan tribal masalah buat kamu?
A : Peradaban sesungguhnya tidak pernah mengenal ampun untuk ini Evita. Persamaan hak cuma kabar dusta karena kasta dan strata masih dipatri. Tidak pada pikiran sebagian saja, melainkan generalisasi–bangsa sampai ke akar individunya.
E : Bagaimana dengan menghadapi? Tentu ada kaum inklusif yang akan menerima kita.
A : Kamu tidak akan sesiap aku yang sudah terbiasa dengan cerca dan nista. I love you tremendously, Evita, that I’ll do my best to protect you from any sorrow.
E : Your leaving is the my first sore soul experience, Ad. And there’s no despair can be worse than it then. Cause everyone says first cut is the deeper.
A : Aku tidak pernah percaya berpikir atau terpikir sampai sana. Besides, bukankah kamu yang mendidik aku untuk realistis?
E : Well, kalau begitu kita saling meng-involve. Atau saling ter-involve.
A : Bukan, sayang. Kita menyatu. Selalu. Mulai sekon awal kita bersama sampai, baru saja kucerna, sekarang.
E : Yeah, comprehensions always come later. Setelah lisis total, betapa jauh lebih jernih yang tertangkap indra..
A : Dengarkan aku, Ev. Yang lalu telah memberi pelajaran; ternyata perpisahan juga tidak menghasilkan, and you’re all right, tegar hanya suatu bentuk eufemisme dari penyangkalan. I’m positive. Pikir dapat dipaksakan, ego pun masih dapat ditekan, tetapi hati tak akan. Mungkin untuk kita, es geht nicht weiter... Namun kita pasti akan lebih kuat jika bersama.
E : Yang lalu? Adolf? Kamu mau mengakhiri ini? Can the happy old times come back? Telah kita lihat beberapa kesempatan baru untuk memulai kembali..
A : Still, never know our luck, no guarantees. But for us, sons of vacant, take a risk won’t be a big deal. So I am all yours, Evita. You have my word and my faith for everlasting.


had taken from : Biarkan Evita dengan Adolfnya [PART 2]
kisah ini fiksi. kesamaan nama tokoh atau tempat merupakan ketidaksengajaan.

5 comments:

Anonymous said...

made-up glorie's version.memang stylemu yang ribet glo.haha.so does he.padahal just made up.I don't each details cause hahaha you know why.(real awkward)

but think that no one will catch the full 100percent story.karna ditulis dlm bhs kalian,it's yours.

Anonymous said...

Bukan termasuk dialog mereka yang akhir-akhir...............
tapi kondisi mereka bener2 terjadi di kenyataannya ..............
hey, describe tentang karakter adolf seperti yang dibilang, jelas koq

Anonymous said...

satu kalimat aja, judulnya km ganti jd :
biarkan Glow oo dgn pianistnya

Anonymous said...

comment km paling ngaco sendiri tw ga..? hahaha.

Anonymous said...

maklum,,,tina & boo kan org2 pui-tis kalo sy kan stereo-tis he2