Cinta yang terlarang dirasakannya seumpama buah yang memicu reaksi racun dalam saliva ketika ditelan. Buahnya sendiri sempurna tiada bercacat. Membuat liur terbersit. Ia selalu tergoda untuk mencicip.
Sedikit, segigit. Adiktif.
Lalu terjerat ia karena buah itu jahat—kejahatan tersembunyi.
Setelah menjerumuskannya dalam neraka tak bertepi, cinta itu menguap lenyap. Dirinya ditinggal, menjadi korban tunggal, seolah memang ia anak bengal yang layak dipenggal. Ia tidak mendapatkan peluang membeberkan alasan, atau menjelaskan.
Semua didoktrin hitam dan putih. Hanya ada lapisan teratas dan terbawah tanpa tengah.
Pun ia merasa dikhianati.
Sebab aforisme cinta berbalik menyerang, meracuni, menghabisi. Ia terhempas oleh kepercayaannya akan cinta yang sakra.
Kepercayaan yang telah dibangun melalui masa-masa pergulatan yang mewaktu.
Bahwa semua itu bermula pada hari-hari ketika hukum tentang cinta pertama kali dinubuatkan, membuat segalanya lebih buruk. Hukum tersebut mendefinisi siapa yang harus dicintai. Dan bagaimana caranya. Dan seberapa banyak. Kepicikan pragmatis.
_______________
catatan: merupakan alinea-alinea pada bab pertama novel TSDB, and been published here for sentimental reason
1 comment:
glo!! ga tau knpa gw kalo liat "glorification" lu ini selalu ketawa ya?? hahahaha!!
maaf kalau sekiranya komentar yang saya berikan menimbulkan efek destruksi yang cukup besar. mohon maklum.
Post a Comment